Lelaki Terakhir Menangis di Bumi

September 2018. Pesan masuk dari Kas, Dirimu jadi moderator diskusi minggu ini ya. Deg. Kok aku? Balasku protes, berusaha menolak agar tak jadi moderator, karena seingatku narasumber malam itu adalah orang yang belum kukenal. Bukan teman nongkrong yang biasa ikut diskusi. Teman Kas dari Malaysia.

Cuma dirimu yang belum pernah jadi moderator, nampil sesekali kenapa? Balas Kas lagi. Aku yakin si hitam ini agak kesal denganku.

Tak lama berselang, aku balas pesannya. Harus formal gak Kas? Apa perlu aku kirim catatan sambutannya ke kamu?

Gak perlu bego. Balas Kas, dan aku memaki dalam hati.

Hal pertama yang aku persiapkan adalah informasi buku yang akan dibahas. Ini Sekolah Kita, begitu judul buku tersebut. Lama menelusuri google, tak kutemukan ulasan tentang buku ini. Ah, aku nyerah. Haha-hehe aja nanti pas diskusi. Gumamku sambil menyeruput kopi.

Saat diskusi dimulai, aku sempat berkenalan sebentar dengan narasumber. Bang Asyraf, begitu dia kusapa, sempat membocorkan isi buku tersebut. Setidaknya aku punya sedikit informasi yang bisa diolah ketika diskusi.

Selama pemaparan, aku mendengarkan dengan seksama isi buku yang dibahas. Hal yang membuat aku takjub adalah pendiri sekolah pada cerita buku tersebut ternyata mahasiswa dari Malaysia yang masih berumur 19 tahun. Aku membayangkan mahasiswa yang harusnya duduk belajar dan menikmati masa-masa indah kuliah, mengerjakan tugas, dan nongkrong. Sedangkan si penulis, sudah berhadapan dengan anak-anak korban perang untuk memberi ilmu.

Mungkin kita tahu tentang peperangan yang terjadi di Suriah namun kita tidak terlalu peduli. Jangankan itu, mengakses berita tentang suriah saja tidak.

Diskusi malam itu benar-benar membuka mata. Hal yang menjadi pertanyaan di kepala, siapa penulis ini, apa motivasinya, siapa orang tuanya, bagaimana didikannya, dan apa yang dia lewati dalam hidupnya. 

 

 


Comments

Popular posts from this blog

Abang Kelas Yang Aku Kagumi

Kenangan Bersama Ayah - Bagian 1