Kenangan Bersama Ayah - Bagian 1
Sore itu, langit cerah sekali.
Cahayanya indah, terang dan mengusik tiap orang untuk menikmatinya. Angin
sepoi-sepoi dengan genitnya menyapa dedaunan, rumput dan sesekali menyibak poni
rambutku. Aku duduk termenung di tangga rumah sambil memperhatikan awan-awan
yang bergerak, putih sekali warnanya. Sesekali kulihat buah mangga di samping
rumah yang masih tergantung di dahan, warna hijaunya menyegarkan. Ku bayangkan
betapa kecut dan asam rasanya ketika daging mangga itu ku gigit. Sssh, mulutku
mengecap.
“Edi, cepatlah, kakak kau dah nunggu
tu, ngamuk dia nanti” teriak Mama sambil buru-buru menyarungkan kaos kaki ke
adikku.
Sore itu, sesuai janji ayah, dia akan
membawa kami jalan-jalan. Seperti biasa, tempat yang akan ayah suguhkan adalah
pelabuhan. Kamipun dengan girang mengiyakan ajakan ayah. Tidur siangpun
terpaksa ditangguh demi bersiap-siap ikut untuk melihat kapal yang lewat. “Tendak
tidow siang, nanti ditinggal Ayah,” protesku waktu Mama menyuruhku untuk tidur
siang sebelum pergi.
Ayah sudah siap dengan sepeda di
samping rumah, sesekali dia mengecek ban sepeda.
“Sudah siap kau Ade?”. Teriak Ayah
dengan suara batak khasnya.
“sini, duduk kau diboncengan belakang”,
sahut ayah lagi sambil mengambil tali plastik di keranjang sepeda.
Akupun menurut, ayah mengangkat tubuh
mungilku dan mendudukkannya di boncengan belakang. Diambilnya kedua kakiku
untuk diikatkan di tiang penahan sadel (seatpost).
Lalu Mamaku datang menggendong Edy dan mendudukkannya di boncengan bagian
depan.
“Bah, yang tebal kalilah bedak anak
kau ini Nur, udah kayak ulat pisang kutengok”. Celetuk ayah sambil ketawa.
“eeeh, biolah. Cepatlah pegi, nanti
petang betul balik. tengok kaki anak ye bang, dah diikat ketat tu?”. Tanya Mama
sambil menunjuk ke arah kakiku.
“pegang pinggang Ayah kuat-kuat ye De,
jangan ngantuk di jalan, kang jatuh pulak”. Pesan Mama sambil melihat ke
arahku.
“Pergilah kami dulu ya Nur”. Balas
ayah sambil menaiki sepeda.
Di jalan, ayah mengayuh sepeda dengan
tenang. Kami melewati banyak sekali pohon-pohon besar yang menghiasi pinggiran
jalan. Sekali lagi, angin sepoi-sepoi mengusik poni, menyapa wajah, membuat
sayu mataku.
Tak ku hirau kantuk yang datang
tiba-tiba, aku ingat pesan Mama, tak boleh mengantuk di jalan. Ku bayangkan
jika aku terjatuh, kakiku akan terikat di sepeda sedangkan kepalaku akan
terseret ke aspal. Wah, betul-betul horor rasanya.
Ku cengkram pinggang ayah dengan
keras, ku belalakkan bola mata dan kubayangkan hal-hal indah saja.
Kami berdiri di pelabuhan dengan
perasaan bahagia. Ayahku menggendong Edy. Sedangkan aku berdiri di sampingnya
sambil tersenyum girang. Pelabuhan Camat Selatpanjang tahun 2000, pelantarnya
masih kayu, memberi bau khas. Bau amis laut dan bau kayu basah. Airnya berwarna
coklat, menggulung-gulung kecil dan memberikan suara ombak.
“Kalian tahu? Air laut di luaran sana
berwarna biru, kalau di lautan lepas kita tidak akan melihat pulau-pulau
seperti itu”. Tunjuk Ayah ke pulau seberang kami.
“Terus kenapa air laut di selatpanjang
warnanya coklat?” tanyaku penasaran.
“Nah, itu yang Ayah belum tahu. PR lah
buat ayah ya nakku, nanti ayah cari tahu”.
Nah, kalau itu speed boat namanya Edy, lajukan?” terang ayahku sambil
menunjukkan sebuah speed boat yang
melaju kencang.
“Yah, kalau kapal jelatik itu kenapa
jalannya pelan sekali? Lama sekali kita di kapal kalau mau ke Pekanbaru, kalau
jalannya cepat seperti speed boat
tadikan bisa sampai cepat”. Tanyaku penasaran.
“karena kapal jelatik besar, bawa
barang dan penumpang banyak, jadi tidak bisa laju-laju jalannya”. Jawab ayahku.
Akhirnya aku terdiam. Ku dengar saja
penjelasan ayah soal kendaraan di laut yang lewat. Ayah dengan antusias
mengenalkan satu persatu kendaraan itu. Pikiranku jauh melayang, membayangkan
lautan lepas yang barusan diceritakan Ayah. membayangkan warna air lautnya yang
jernih dan biru, membayangkan isi laut yang tampak, ikan-ikan yang menari-nari,
sotong, udang, wah akan sangat mudah ditangkap. Perasaanku hangat, bahagia
sekali rasanya, ku genggam tangan Ayah, ku lihat wajahnya dari bawah, lalu
tersenyum senang. Ayahku, mantan kapten kapal yang setiap malam selalu
menceritakan pengalaman-pengalaman melaut. Walau saat itu aku masih sangat
kecil, tetapi masihku ingat cerita pengalamannya yang sempat terombang-ambing
di sekoci selama 3 hari 3 malam karena kapalnya yang karam.
Comments
Post a Comment