Ada Apa Dengan Maaf? - Sebuah Tulisan Untuk Islah
Kasur
berwarna putih membentang dengan selimut terhampar di atasnya, dan dua bantal
tergeletak dengan gemasnya. Duh, melambai-lambai kasur ini meminta punggungku
rebah. Suhu AC sengaja distel paling dingin, menambah keinginan untuk
leyeh-leyeh. Apalagi memang tubuhku sangat capek serta kepala nyut-nyutan
setelah dikuras untuk menjawab 100 soal yang lumayan rumit.
Tapi
aku tak bisa rebah, tubuhku berkeringat dan terasa lengket, perintah lain di
otak, aku harus mandi. Tak berapa lama aku merasa ada dua orang yang sedang
berantem di kepala. Satu menyuruh mandi, satu lagi meminta rebah.
Lama
aku terpaku berdiri mencerna pertengkaran yang terjadi di kepala. Mau diikutkan
yang mana nih? Mandi apa rebah?
De,
ko mau mandi duluan gak? Tanya Refi membuyarkan lamunanku.
Seketika
itu juga pertengkaran di kepala hilang dan langsung memutuskan, baiklah mandi
saja dulu.
Lampu
kamar mandi begitu temaram. Lampu berwarna kuning yang benar-benar suram
menurutku. Seingatku, persis seperti lampu di rumah nenek. Memang, hotel ini
mengusung tema kuno, semua perabotannya juga tua. Meja rias tua, lemari kayu
tua yang tak berani kubuka, bahkan tidak ada lift. Kami harus naik tangga ke lantai tiga tempat kamar kami
berada.
Kulihat
bathup ketika sedang duduk di kloset
untuk kencing. Nyaman juga kalau berendam air panas, gumamku. Namun ketika aku
bangkit dan becermin di wastafel,
kudapati air panasnya tidak berfungsi. Njir, rutukku.
Lalu
kusiram tubuhku dengan shower, pakai
air dingin tentunya.
Sambil
menyirami tubuh, aku becermin, melihat lekuk-lekuk tubuh yang kubenci. Baru kali
ini aku melihat seluruh tubuhku sendiri. Di rumah tidak ada cermin besar
sehingga setiap hari hanya melihat wajah saja. Aku butuh cermin besar, setelah
ini akan kubeli cermin besar untuk di kamar, Pikirku.
Setelah
itu aku beralih membersihkan pembalut. Kebetulan aku sedang haid, tapi haid
yang tak normal. Entah mengapa haid kali ini hanya setetes setiap harinya.
Pembalutku selalu bersih, tak terlalu merepotkan untuk membersihkannya.
Kegiatan
terakhir di kamar mandi, aku beralih mencuci wajah. Salah satu bagian tubuh
yang sangat aku sukai. Mulus, tidak berjerawat, tidak bopeng, dan selalu aku
syukuri. Sambil mengelus-elus wajah, fikaranku tertuju ke story intagram yang kubuat tadi. Aku meninggalkan telepon genggamku
dengan satu pesan di dalamnya. Pesan dalam akun instagram. Entah siapa yang
mengomentari storyku, apakah si dia,
ataukah kakakku, ah begitu penasaran.
Cepat-cepat
kubersihkan wajah yang dilumuri sabun lalu keluar dengan melilitkan handuk
ditubuh.
Ku
dapati pesan dari Islah di salah satu story
yang kubuat. Isinya “kayak Nunung ko”.
Lalu
aku menghembuskan nafas mencerna isi pesan Islah. Yang sebenarnya di pikiranku
sudah tergambar jelas maksud dan tujuan pesan tersebut. Agar aku yakin dan
percaya serta memperjelas bahwa aku gendut serta mirip Nunung. Ah, body shamming yang sudah berjuta-juta
kali aku terima dari banyak orang selama 25 tahun hidupku.
Lalu
dengan baik-baik aku balas “kenapa kalau mirip Nunung? Salah?”
Setelah
mengirim pesan seperti ini aku merasa orang seperti Islah akan langsung minta
maaf dan bilang De aku becanda, dan akan langsung aku tanggapi dengan becandaan
juga. Nyatanya tidak, balasan Islah berikutnya memancing emosiku. “sensi amat
ko” begitu balasannya sehingga membuat darah naik ke kepala.
Lagi-lagi
aku membalasnya dengan pertanyaan “tujuannya ngomong itu buat apa? Buat body shammingkan? Emang Nunung kenapa?
Ada apa dengan Nunung?”. Aku berharap jawaban Islah akan meredam dan membuatku
memaafkan segala percakapan kami di atas. Nyatanya tidak. “we bodoh, otak ko
tidak bisa berpikir baik apa? Banyak beban dalam hidup ko ya sehingga tidak
bisa mikir positif?”.
Wah,
mataku memerah, dadaku sesak, tangan kiriku mengepal. Apa yang dia tahu soal
hidup aku? apa yang dia tahu soal beban yang sedang aku hadapi? Seenak dia
ngomong begitu.
Kubalas
pesan tersebut dengan huruf besar. Menandakan aku benar-benar marah. Lagi-lagi
aku bertanya apa masalahnya kalau mirip? Lalu dia membalas dengan pembelaan
yang menurutku tidak penting. Ku akhiri pesan dengan kalimat seharusnya dia
meminta maaf karena sudah menyakiti hati aku, lalu aku block.
Setelah
kegiatan berbalas pesan itu, aku mengganti handukku dengan baju tidur yang
kubawa. Kubaringkan kepala di bantal yang empuk, kutarik selimut sampai
menutupi seluruh tubuhku. Mataku rasanya panas, seperti ada air hangat yang
akan keluar. Tapi aku menahannya, aku malas membuat ribut seiisi kamar dengan
menangis. Pasti akan ditanya oleh Refi yang sedang baring di sampingku. Dan aku
malas menjelaskannya. Tapi karena tidak menangis, kepalaku yang akhirnya nyut-nyutan.
Aku
meresapi lagi percakapan kami tadi. Dan mulai bertanya-tanya apakah aku yang
salah, atau aku yang terlalu baper. Memang jika menyangkut soal bentuk tubuh,
aku tidak bisa menjadikannya bahan becandaan.
Aku
terbiasa mendapat perlakuan tidak menyenangkan soal tubuh ini. Waktu SD aku
tidak bisa jadi mayoret drum band, teman-temanku merundungku dengan menyuruhku
membawa beduk. Lalu aku tidak pernah dipilih untuk ikut menari, padahal aku
sangat ingin. Ketika teman-teman mengejekku, yang aku lakukan hanyalah
mengikuti becandaan mereka dengan senyum padahal aku sedang marah sekali. Memendam
perasaan seperti ini aku bawa sampai ke SMP. Di sana, perundungan lebih gila
lagi. Meja tulisku di siram sampah, kadang-kadang tong sampahnya juga ikut
diletakkan di situ. Tulisan-tulisan gendut, badut, teriakan-teriakan kalimat
jahat selalu aku terima. Namun tak pernah sekalipun aku melepaskan amarah ke
mereka yang mengejekku, hal yang salah menurutku.
Lalu
di SMA, perundungan tetap terjadi. Salah satu murid dari kelas lain memanggilku
dengan sebutan babi. Padahal aku sama sekali tak mengenalnya. Lagi-lagi aku
diam, tak kubalas, bahkan memplototi saja tidak. Bukan aku tak berani, tapi
satu hal yang tertanam di pikiran, menyakiti perasaan orang lain adalah beban buatku.
Membalas hal jahat mereka pasti juga akan menyakiti perasaan mereka.
Hal
yang tak kusadari, aku menjadi pribadi yang selalu saja menyalahkan diri
terlebih dahulu, masalah apapun yang terjadi, diri sendirilah yang akan aku
salahkan.
Termasuk
saat ini, cekcok dengan Islah. Aku sudah lebih dulu menyalahkan diri sendiri.
Andai pesan itu tidak kubalas, andai tidak kutanggapi, andai aku tak seperti
babi, andai, andai, andai...
Lalu
dua minggu berikutnya aku bertemu Nur dan Wella di toko buku bekas Mang Anton untuk
kegiatan diskusi. Mereka menanyakan ada masalah apa antara aku dan Islah. Hal
yang sebenarnya tak mau kuceritakan, walau mereka berdua sudah tahu dari story instagram yang kubuat saat aku
sedang marah waktu itu.
Belum
aku menjelaskan, Nur sudah menunjukkan pesan Islah kepadanya. Pesan yang sama
diterima Wella. Mereka juga beranggapan Islah hanya mencari pembenaran. sebenarnya
dalam kurun waktu 2 minggu itu, aku sudah menghilangkan sakit hatiku, sudah
berusaha melupakannya, walau aku tak akan menegur Islah lebih dulu.
Namun
ada satu kalimat yang ditunjukkan oleh Nur yang membuat aku kembali meradang.
“kalau dia mau kurus suruh dia beli Herbalife.”
Ingin
aku menelfon Islah saat itu juga dan memakinya dengan kata-kata kasar. Ingin
aku bertanya berapa besaran gaji dia, ingin aku menjelaskan harga herbalife dan
ingin aku katakan dengan jelas bahwa aku akan kurus bukan dengan alasan cemohan
orang-orang, tapi karena proses kurus akan membuat aku bahagia. Ya, bahagialah
yang paling penting dalam hidup ini.
Ketika
pulang ke rumah, kalimat “beli herbalife” terngiang-ngiang di kepalaku. Perasaan
marah mulai menggerogoti hati, mata panas, sesekali tangan meremas celana
pendek yang kukenakan.
Sekali
lagi aku berusaha menahan marahku, teringat teori goyang-goyang pantat untuk
menghilangkan perasaan dongkol, lalu aku lakukan. Tak kunjung reda, aku
berbaring telentang melihat langit-langit kamar lalu menendang-nendang kaki ke
udara, juga tak kunjung reda.
Duhai Islah, susah sekalikah meminta maaf? Paling tidak, kau tak perlu
mencari pembenaran ke orang-orang bahwa kau tidak salah. Makin banyak kalimat
pembenaran yang kau utarakan, makin susah aku memaafkanmu
Comments
Post a Comment