Dinner Dengan Sarung Bagian 1


Dinner Dengan Sarung

Aku punya temen cowok. Lumayan akrab. Berteman sejak masuk kampus. Artinya kami sudah kenal sejak tahun 2013. Dia pintar, tahu banyak hal. Kalau dibandingkan dengan teman yang lain, dia yang paling pintar di kelas kami. Tapi temanku ini agak berbeda dari orang lain. Kalau kita semua kuliah buat ngejar supaya cepat lulus, dia gak. Sampai saat ini belum lulus kuliah. Hobinya cuti, slogannya “cuti adalah kunci”.
Di samping sudah akrab karena kenal lama. Kami juga punya persamaan, yaitu hari ulang tahun yang sama. Iya, sama. Tanggal, bulan dan tahun yang sama. Unik kan? Itu berarti umur kami benar-benar sama. Walaupun secara fisik aku masih imut-imut dan dia sudah amit-amit.
Setiap tahun di ulang tahun kami, secara bergantian kami saling ngucapin selamat. Walaupun ucapan selamat dari dia tidak pernah membuat aku merasa akan selamat.
Contoh 1 :  
Aku     : Happy birthday *** yang ke 21, panjang umur, murah rejeki, cepat lulus, cepat menikah.
Dia      : iya, ko juga selamat ulang tahun. Jangan upload karcis-karcis bioskop lagi ya di instagram. Malu. Dah tua jangan alay.
Contoh 2 :
Aku     : Happy birthday *** yang ke 22, panjang umur, murah rejeki, cepat lulus, berkah umur.
Dia      : Iya happy birthday buat ko juga. Jangan sedih-sedih mulu ya, jangan baperan. Bahagia itu kita yang tentuin, bukan orang lain.
Setiap tahun, ekspresiku selalu datar jika sudah mendapatkan balasan selamat ulang tahun dari dia. Menurut kaca mata cewek alay, ucapan seperti ini sama sekali tidak membuat bahagia. Aku selalu maklum sih, memang orangnya seperti itu. Cuma, apa salahnya sih ngirim pesan selamat ulang tahun yang baik dan kreatif. Doa-doa kek, apa kek, walaupun ga ngirim kue dan kado. Ya kan?
Akhirnya di ulang tahun yang ke 23. Aku kembali mengirimkan pesan selamat ulang tahun kepadanya, walaupun sekarang sudah tidak berharap di balas dengan ucapan-ucapan selamat. Namun anehnya, balasan dia malah ngajak dinner. Ceileeh, ini seriusan Mr. Cuti ngajakin makan malam? Pikirku saat itu.
Acara ulang tahunku yang ke 23 di isi dengan kejutan dari teman-teman kampus. Di surprisin dengan kue, kado, nyanyi-nyanyi seharian, bahagia sekali rasanya. Sedangkan aku dan dia janjian untuk ketemu di malam harinya.
Sepulang dari acara bersama teman-temanku, aku memutuskan untuk bersiap-siap dengan maksimal. Gak pernah Mr. Cuti serius ngajak makan malam di hari ulang tahun, biasanya kalau ulang tahun cuma dapat pesan-pesan menyedihkan yang cenderung mengkritik kebiasan-kebiasaanku. Uuh, sebel.
Senang sekali rasanya, dalam bayanganku kami akan makan malam di cafe hits, ngobrolin kenapa hari ulang tahun kami bisa sama, ngobrolin hal-hal lucu, atau nostalgia-nostalgia kampus. Ter-haha hihi sampai makanan habis. Waaah pasti menyenangkan.
Aku memilih mandi dengan wangi, memilih celana biru yang baru saja aku ambil dari tukang jahit. Berbedak, beralis, berlipstik dengan rapi. Pokoknya cantik maksimal. Aku masih ingat, aku kebingungan memilih sepatu sewaktu keluar dari rumah. “Si Mr. Cuti mau ngajakin makan di mana ya? Cocok pake heels atau wedges ya?” gumamku dalam hati.
Akhirnya, seperti yang sudah di janjikan, aku yang menjemputnya dan kami akan bersama-sama pergi makan. Di perjalanan aku sempat bernyanyi kecil saking gembiranya. Sesampainya di tempat jemputan, aku mengirim pesan kepadanya bahwa aku sudah di depan. Tak lama kemudian Mr. Cuti keluar. You know what?
Mr. Cuti cuma pake kaos oblong dan kain sarung. Ok de, kaos oblong bisa di maafin, lah kain sarung?
Waktu melihat pemandangan paling nyebelin itu, aku masih mencoba untuk berfikiran positif. Mungkin dia abis solat jadi belum sempat ganti celana. Jadi aku masih sabar bertanya.
Aku     : Ko abis solat? Mau ganti baju dulu?
Dia      : Nggak.
Aku     : Trus? Ko mau pergi kek begini?
Dia      : Iya, kenapa emang?
Aku     : Pake sarung?
Dia      : Iya, ga salah kan?
Aku     : Emang kita mau makan di mana?
Dia      : Ya di emperan
Aku     : Dalam hati. Gak apa-apa di emperan de, biasanya ko juga makan di emperan.
Aku     : yasudah gak apa-apa di emperan. Tapi jangan pake sarung lah. Malu ih, tuker celana sana
Dia      : Gak mau
Aku     : Aku gamau pergi kalau ko pake sarung (langsung ngambek)
Dia      : Yasudah (langsung melipir pergi masuk ke dalam rumah)
Gila pikirku. Aku di tinggalin pergi trus dia dengan gampangnya bilang yasudah, yasalam.
Saat itu keinginan hatiku cuma satu, nabokin kepala dia pakai wedgesku ini atau melorotin sarung dia depan orang ramai. Marah, kesal dan kecewa aduk jadi satu. Aku memutuskan pulang.
Di perjalanan aku berfikir lagi, “ni orang emang hobi nya bikin kesal atau apa? Sial, aku rugi banyak. BB cream mahal, bikin alis itu susah, lipstik juga mahal, trus aku bela-belain memakai celana yang baru aku jahit.” Rutuk ku dalam hati.
Sesampainya di rumah, kakakku terheran-heran kenapa aku pulang cepat sekali.
Kakakku          : Lah, bukannya mau dinner, kok cepat pulangnya Bun?
Aku                 : Yang ngajak dinner lagi amnesia.
Kakakku          : Amnesia?
Aku                 : Iya, sampe lupa pake celana (aku langsung masuk ke kamar)

Comments

Popular posts from this blog

Abang Kelas Yang Aku Kagumi

Lelaki Terakhir Menangis di Bumi

Kenangan Bersama Ayah - Bagian 1