Mabuk Perjalanan Di Bus Prima Jasa (Curhatan perjalanan ke Bandung Bagian I)
Liburan ke Bandung adalah rencana yang sudah lama aku dan sahabatku Septian bicarakan. Sejak Septian memutuskan untuk pindah ke Bandung tinggal bersama kakek dan neneknya, kami selalu membicarakan betapa serunya jika kami bisa bersama-sama menjelajahi kota kembang ini dan menikmati kulinernya.
Rencana ini tentu sudah lama kususun. Buat orang yang sulit mendapatkan cuti kerja sepertiku, pastinya liburan ini kususun dengan baik. Aku membeli tiket pesawat untuk perjalanan ke Bandung sejak bulan Agustus. Aku mempertimbangkan harga tiket saat itu, untuk harga tiket ke Bandung jauh lebih mahal dibandingkan jika aku membeli tiket ke Jakarta. Hasil dari diskusiku dan Septian bahwa lebih baik aku membeli tiket pesawat ke Jakarta saja yang jauh lebih murah, karena sisa uangnya bisa dibelikan berbagai macam ole-ole. Tentunya aku akan menggunakan Bus Prima Jasa untuk kendaraanku menuju Bandung.
Perjalanan melalui Batam, diantar oleh abang iparku. Berbagai wejangan dari kakak dan ijin dari mama dan abang telah ku kantongi. Baik dan sopan di rumah orang, jaga diri dan kehormatan, begitu pesan kakak. Di mobil menuju bandara, aku sempat melihat warna langit Batam, apakah sama langit Batam dan Bandung, begitu pikirku.
Ketika di pesawat menuju Jakarta, badanku sudah mulai tidak enak, tenggorokan terasa gatal seperti digaruk, badan terasa meriang, hidung tersumbat juga. Memang, dua hari sebelum keberangkatanku ke Bandung, aku sudah demam parah, kakaku sempat khawatir dengan keadaanku, tapi tidak berani menyuruhku menunda keberangkatan karena dia tau betapa keras kepalanya aku terhadap sesuatu.
Setelah sampai di Bandara Jakarta, aku mencari loket Prima Jasa untuk membeli tiket, pusing di kepala tidak aku hiraukan karena inginku segera sampai di Bandung. Aku sempat membeli nasi padang di Bandara Jakarta yang harganya mahal minta ampun, aku sempat menyesali itu.
Aku lalu naik ke Bus Prima Jasa, aku tidak pernah berfikir akan mabuk berat. Nomor kursiku di angka 3, persis di belakang supir Bus dan di samping seorang laki-laki paruh baya yang sibuk bermain telepon genggam. Aku duduk lalu memandang ke depan. Kulihat kaca bus yang besar sekali dan pemandangan jalan yang ramai serta mobil-mobil yang berlalu lalang, kepalaku pusing dan mataku berkunang-kunang.
Aku sempat mengobrol sebentar dengan laki-laki paruh baya di sebelahku lalu mulai mencari bangku kosong di belakang. Aku tidak kuat dengan pemandangan memualkan seperti ini, gumamku.
Aku duduk di bangku deretan ketiga dan untungnya penumpang tidak banyak, sehingga tidak ada yang duduk di sebelahku. Kugunakan bangku tersebut untuk meletakkan tasku dan aku pun menyandarkan kepala. Jam 4 sore, bus mulai berjalan, kondisiku aman di 10 menit pertama. Tapi aku sudah bisa memprediksikan bahwa aku akan muntah karena aku sudah merasa badanku sudah tidak bisa dikompromi lagi. Kuletakkan telepon genggamku di dalam tas, kukeluarkan minyak angin lalu mulai menyapunya ke bagian kepala, leher, bahu, dada dan pinggang bagian belakang. Perut sudah mengisyaratkan untuk mengeluarkan isinya, tenggorokan sudah mengisyaratkan rasa mual, namun otak tetap tidak mengizinkan untuk muntah. Aku mulai merasa tubuhku berantem, karena saling menyuarakan kehendak masing-masing.
Aku memaksa perut dan tenggorokan untuk tidak mengulah, pokoknya aku tidak mau muntah, begitu perintahku. Perut dan tenggorokan menurut di satu jam pertama, tapi malah leher, tangan dan kaki yang lemas. Leher seperti tidak sanggup menopang kepala, tangan seperti tidak sanggup digerakkan dan kaki seperti tidak sanggup menginjak. Mereka semua terkulai lemas, hanya otakku yang masih hidup bahkan mataku tak sanggup kubuka.
Otakku terus menerus memerintahkan bagian tubuh untuk bertahan, berbagai macam hal terlintas di kepalaku. Bagaimana jika ada orang jahat di bus merampas tasku, atau tiba-tiba ada laki-laki mesum meraba-raba bagian tubuhku yang berharga ini. Pikiran-pikiran ini ternyata tidak juga berhasil membuat tubuhku bangkit, untuk mengangkat telepon genggam saja dan membalas pesan aku tidak sanggup.
30 menit berikutnya perutku sudah tidak menghiraukan perintah otak lagi, perutku sudah mendesak agar makanan keluar melalui mulut, tenggorokan juga kompak dengan perut, dia kirimkan sinyal ketidaksanggupan menahan mual ke otak dan juga tidak peduli lagi perintah otak untuk tidak muntah. Otakku panik, mau dikeluarkan ke mana muntah sialan ini. Mataku terbuka, satu-satunya tempat yang bisa dimuntahkan adalah plastik berisi nasi padang mahal yang belum sempat aku sentuh. Sialan! blueeek. Aku keluarkan semua isi perut ke plastik tersebut.
Puas muntah, tapi anehnya tubuhku ada tenaga. Tangan dan leher bisa digerakkan. Aku lalu mengambil telepon genggam dan membukanya. Aku langsung memberitahu kakakku dan Septian bahwa aku mabuk parah. Aku tidak sanggup menjawab dan membuka pesan mereka.
Setelah itu kepalaku mulai pusing lagi, kupejamkan mataku berharap tertidur, tetapi lagi-lagi otak melarang tidur karena ada tas yang harus aku jaga. Alhasil mata hanya terpejam dan otak tetap mengawasi. 30 menit berikutnya aku kembali muntah, kali ini sudah tidak ada yang bisa dikeluarkan, tapi aku terus menerus muntah sampai tidak bisa bernafas. Setelah muntah, kembali kusapu minyak angin ke bagian tubuhku, tapi anehnya tidak mempan. Sama sekali tidak ada rasa hangat di tubuhku. Tulang punggungku terasa remuk dan sakit. Air mataku terus mengalir padahal aku sama sekali tidak merasa takut dan sedih, hanya lemah dan tidak berdaya.
Keadaanku terus berlanjut seperti itu. Muntah setiap 30 menit. Aku mulai merindukan kasur di rumah dan kerokan kakakku. Aku menyesali keputusanku mengambil tiket pesawat ke Jakarta, seharusnya aku membeli tiket langsung ke Bandung, tidak mengapa mahal asal aku aman.
Aku benar-benar tidak menikmati perjalanan ini. Aku tidak melihat langit dan jalanan yang seharusnya kuperhatikan. Tol-tol yang selalu menjadi topik berita di televisi juga tidak kuperhatikan. Aku benar-benar menyesali perjalanan ini.
Comments
Post a Comment