Dikejar Polisi bersama Wak Sri
Dikejar
Polisi bersama Wak Sri
Kemaren
pagi, sahabatku dari kecil, Sri yang biasa aku panggil “wak” mengirimku pesan.
Dia bilang dia khawatir dengan keberangkatanku november nanti ke Bandung karena
berita kecelakaan pesawat Lion Air JT61. Dia mengirimku screenshoot berita yang dia baca di twitter dan bilang bahwa dia
teringat denganku dan menyuruhku berhati-hati. Aku tidak terlalu khawatir
dengan keberangkatanku malah fokus ke arah lain. Aku fokus ke perhatian yang
dia berikan. Sebegitu berharganya aku sehingga dia bisa meluangkan waktu untuk
mengingatkanku agar berhati-hati. Aku lalu bergumam sudah berapa lamakah aku
mengenal Sri, seberapa sering kami berkomunikasi saat ini mengingat sudah
bertahun-tahun kami dipisahkan oleh jarak. Pikiranku lalu jauh menerawang
hal-hal yang sudah kami lewati. Salah satunya adalah dikejar-kejar polisi.
Aku
bisa naik sepeda motor bukan karena les atau kursus, juga tidak diajarin ayah
atau abangku. Melainkan karena kebandelanku mencoba-coba sepeda motor Sri,
temanku yang waktu itu sudah bisa membawa sepeda motor. Waktu SMP, mengendarai
sepeda motor adalah hal yang paling keren untuk anak-anak seumuran kami.
Sekedar berkeliling kampung dengan mengendarai sepeda motor adalah hal yang
paling membanggakan. Untuk itu kami berdua juga tidak mau ketinggalan, kami
memutuskan untuk melawan ketakutan kami dan curi-curi belajar sepeda motor. Sri
sering sekali diam-diam membawa sepeda motor dan kabur ke rumahku. Padahal kaki
kami berdua sama-sama pendek dan sering sekali menjinjit jika membawa sepeda
motor.
Pada
suatu hari, seperti biasa kegiatan kami setelah pulang sekolah adalah pergi ke
perpustakaan umum untuk meminjam ataupun membaca-baca buku di sana. Tempat
tongkrongan kami yang biasanya paling sepi dan adem. Malah saking seringnya
kami ke sana, aku sudah menamatkan seluruh novel Mira W yang ada di rak buku
perpustakaan umum tersebut. Sepulang dari sana, kami yang membawa sepeda motor
dengan bangganya berkeliling di jalan tanpa helm. Tanpa sadar jalan yang kami lewati
adalah markas polisi untuk berpatroli dan berkumpul. Sehingga sering kali
terjadi razia di sana. Sambil ngobrol dan ketawa termehek-mehek bersama di atas
sepeda motor, tiba-tiba kami dikejutkan oleh teriakan seorang polisi yang
tampaknya emosi melihat dua orang anak di bawah umur mengendarai sepeda motor
tanpa helm, tanpa melihat kiri dan kanan, tetap bahagia menunggangi sepeda
motor dan tanpa rasa bersalah.
Lalu
seorang polisi meneriaki kami “woi, berhenti”. Dengan panik Sri yang berada di
belakangku balik berteriak “waaak, polisi wak, polisiii.” Aku yang sama
paniknya malah melajukan sepeda motor dengan sangat kencang dan berharap bisa
kabur dari polisi. Tanpa disangka-sangka polisi yang meneriaki kami juga
mengambil sepeda motor dan malah mengejar kami. Kejar-kejaran di jalan sangat
sengit. Aku masih mengingat polisi yang mengejar kami berteriak-teriak di jalan
supaya berhenti. Saat itu jantungku sangat deg-degan dan dalam pikiranku
hanyalah satu, bisa lolos dari kejaran ini.
Sri
yang berada di belakangku hanya teriak-teriak tak karuan “waaak, waak polisi di
belakang kite wak, dah dekat wak, cepat waaak, cepaaat.” Sepertinya Sri juga punya
pikiran yang sama, yaitu lolos dari kejaran maut ini. Waktu itu tak aku
fikirkan keselamatan kami, tak aku fikirkan bagaimana jika aku kehilangan
keseimbangan atau bagaimana jika aku menabrak seseorang. Aku malah memikirkan
strategi yang pas dan jitu agar lolos yaitu mencari jalan tikus.
Sekitar
2 menit di jalan besar dan terlibat aksi kejar-kejaran akhirnya aku menemukan
jalan tikus. Jalan yang membuat kami terlepas dari kejaran polisi yang ngotot dan
iseng. Kami berhenti di dekat kuburan, mematikan sepeda motor dan menarik nafas
panjang-panjang.
“Waaaak,
hampir aje” celetukku kepada Sri sambil gemetaran. Sri juga tidak bisa berkata
apapun karena juga shock dan gemetaran.
Dengan segenap sisa tenaga, kami berhasil pulang ke rumahku dan termenung di
sana.
Dari
kejadian itu kami belajar satu hal, ada jalan dan waktu yang harus kami
perhatikan ketika berkeliaran dengan sepeda motor. Sungguh, bukan jera membawa
sepeda motor yang kami rasakan. Dasar bandel.
Jika
mengingat kejadian itu, aku selalu ketawa sendiri. Betapa bandelnya kami dulu
dan bertanya-tanya dari mana asal keberanian yang kami miliki saat itu. Mungkin
sahabatku Sri juga akan ketawa membaca tulisan ini. I miss you Wak.
Comments
Post a Comment