Dinner dengan Sarung Part II (SEBUAH CURHATAN UNFAEDAH)


Dinner dengan Sarung Part II
(SEBUAH CURHATAN UNFAEDAH)

Hola,
Mungkin yang pernah membaca tulisanku sebelumnya tahu kenapa judul tulisan ini ada Part II nya. Buat yang belum baca, silahkan melipir dulu ke sini http://ademuharni.blogspot.com/2018/04/dinner-dengan-sarung-sebuah-curhatan.html
Sebenarnya belum ada niatan buat meneruskan cerita tentang sarung ini. Tapi, berhubung ini masih bulan Agustus, walaupun sudah akhir tapi masihlah dalam suasana ulang tahun ya kan?. Marilah sejenak pembaca mengucapkan selamat ulang tahun dalam hati kepadaku. Ceileeh hahahahak.
Cerita sedikit, aku sebenarnya orang yang sangat menghargai hari ulang tahun. Selain karena memang tradisi dari keluarga yang menganggap penting hari ulang tahun, tapi juga karena event ini setahun sekali buat seseorang. Menghargai umur berarti menghargai hidup, menurutku. Jadilah aku agak sebel ketika ada teman yang aku anggap dekat melupakan dan tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku (curhat ding). Kesebelanku juga terjadi tahun lalu ketika berulang tahun ke 23. Yang sudah baca pasti tahulah ya? Teman yang janjian ngajak dinner tapi pas ketemu dia malah pake sarung sedangkan aku berdandan menor.
Setelah kejadian itu, aku tidak menghubungi Mr. Cuti untuk beberapa lama. Marah ya pasti. Setelah drama tidak tegur menegur ini selesai, aku bertanya kepada Mr. Cuti alasan dia menggunakan sarung ketika mau pergi denganku.
Aku                 : Mr. Cuti. Kenapa sih waktu kita mau pergi kemaren, dirimu mutusin buat pake sarung? Celanamu di laundry? Atau dah ga punya celana lagi? Disumbangin ke mana?
Mr. Cuti           : Lah, emang ada masalah apa dengan sarung? Kenapa memangnya kalau pake sarung?
Aku                 : Lah iyakan aneh gitu, nanti orang liat-liat. Masa’ iya mau dinner tapi dirimu pake sarung. Dandan rapi kek.
Mr. Cuti          : Aneh kenapa? Emang standar rapimu seperti apa? Kemeja? Celana kain? Sepatu mengkilat? Atau pakai jas? Itu standarnya siapa? Barat?
Aku                      : ya trus standar rapimu pake sarung gitu? (sambil sebel monyongin bibir)
Mr. Cuti            : gak ada yang salah dong dengan sarung. Sarung itu identik dengan budaya kita. Sarung juga simbol perjuangan. Zaman dahulu para pejuang menggunakan kain sarung sebagai salah satu cara menolak kebudayaan barat. Dulu, orang-orang dengan bangga menggunakan sarung ke mana-mana. Ke pesta pernikahan, ke mesjid, ke pertemuan-pertemuan. Seharusnya kita sebagai anak bangsa melestrarikannya dong. Bahkan Cokrominoto juga pake sarung ke acara resmi.
Jawaban Mr. Cuti sukses membuat mataku berputar-putar, bibir termonyong-monyong sambil tangan mengutik-utik kuku. Sama sekali alasan Mr. Cuti tidak bisa diterima. Aku kembali ke rumah dengan rasa kesal yang masih menempel di dada.
Sembari merasa kesal, aku mencoba mencari tahu sejarah kain sarung yang diagung-agungkan si Mr. Cuti. Ternyata kain sarung berasal dari Yaman.  Di negeri itu sarung biasa disebut futah. Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar atau ma'awis. Masyarakat di negara Oman menyebut sarung dengan nama wizaar. Orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar.
Penggunaan sarung meluas, tak hanya di semenanjung Arab, tapi juga hingga ke Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika. Menurut informasi yang aku baca, sarung masuk ke Indonesia pada abad ke 14 dibawa oleh pedagang Arab dan Gujarat yang selanjutnya sarung di Indonesia identik dengan kebudayaan Islam.
Pada zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa para penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung, sedangkan kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan sarung. Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh penting di Nahdhatul Ulama(NU). Suatu ketika, KH Abdul Wahab Hasbullah pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang. Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah. (https://id.wikipedia.org/wiki/Sarung)
Setelah membaca sejarah sarung, kemarahanku agak memudar. Mungkin Mr. Cuti tidak sengaja membuat aku marah dan sakit hati, mungkin saja dia memang sedang ingin melestarikan budaya sarung atau dia sedang berusaha memerangi budaya lain yang sudah sangat menjamur di negeri ini. Yasudah Mr. Cuti, kamu aku maafkan.


Comments

Popular posts from this blog

Abang Kelas Yang Aku Kagumi

Lelaki Terakhir Menangis di Bumi

Kenangan Bersama Ayah - Bagian 1